ILUSTRASI : Sejumlah wanita malam sedang menunggu pelanggan di salah satu tempat prostitusi di Jawa Timur yang saat ini sudah ditutup oleh Pemerintah Provinsi Setempat. (Sumber Foto Google) |
Salah satunya seperti yang diungkapkan Madris seroang aktivis hukum dan pemerhati sosial di Kota Bumi Mina Tani.
Menurutnya, langkah yang diambil oleh Pemkab Pati dalam upaya penertiban prostitusi di wilayahnya sudah tepat.
Dengan memberikan beberapa kali surat peringatan dan tenggang waktu kepada pemilik bangunan di LI untuk merobohkan bangunanya sendiri, merupakan bentuk toleransi yang baik.
"Dalam hal ini Pemkab Pati juga tidak menunjukan sikap arogan sebagai pemangku kebijakan, ujar Madris kepada Koran Jateng Pos, Rabu (2/2).
Masih menurut Madris, pembongkaran bangunan di lokasi bekas lokalisasi LI juga harus segera dilakukan. Mengingat keberadaan bangunan itu telah melanggar Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
"Kalau memang dinyatakan melanggar ya harusnya segera ditertibkan atau dibongkar. Karena jika tidak dibongkar akan menjadi contoh bagi yang lain dan akan membawa dampak yang tidak baik ke belakangnya, " ujar pria yang berpofesi sebagai pengacara itu.
Bupati Pati Khawatir, Jika Dibiarkan LI Bisa Jadi Kawasan Prostitusi Terbesar se-Asia.
Sementara itu dalam kesempatan yang berbeda, Bupati Pati Haryanto mengatakan, Pihaknya khawatir jika lokalisasi Lorong Indah (LI) yang berada di wilayahnya akan menjadi tempat prostitusi terbesar se-Asia.
"Kalau dibiarkan jangan-jangan bisa jadi terbesar di Asia. Repot kita nanti. Orang luar negeri datang ke sini, bukannya wisata religi atau wisata alam, malah wisata seperti itu," ujarnya.
Ia mengaku serius untuk menutup total lokasi sahwat tersebut. Selain itu langkah penutupan LI, dikatakannya memiliki dasar dan landasan hukum yang kuat.
"Kami tidak asal melaksanakan secara sepihak. Saya juga sudah mengeluarkan SK Bupati tentang pembentukan tim pencegahan dan penanggulangan prostitusi," jelasnya.
Haryanto menjelaskan, penutupan dimulai dengan langkah preemptif dan preventif. Namun, apabila penghuni prostitusi tidak bisa menerima, baru akan dilakukan langkah represif atau penegakan hukum.
Bupati Haryanto mengungkapkan para pekerja di LI, kebanyakan bukan berasal dari Pati, tetapi 98% penghuni tempat itu berasal dari luar daerah, seperti Cirebon, Bandung, Surabaya, Semarang, Jepara, dan Kudus.
"Kalau tidak segera ditutup, Pati malah bisa menampung lebih banyak pelaku prostitusi dari luar daerah. Sebab lokalisasi di kota-kota besar sudah pada tutup. Seperti Dolly di Surabaya dan Sunan Kuning di Semarang, sudah tidak operasional. Dikhawatirkan malah pada lari ke Pati jika kita tidak ikut menutup tempat prostitusi di sini," ujarnya. (gus)
EmoticonEmoticon