![]() |
Petani Garam |
Johanes mengatakan, salah satu
faktor kurang stabilnya produksi garam di Pati karena peralatan yang digunakan
masih sederhana dan masih bergantung pada kondisi cuaca dan iklim.
“Produksi garam dilakukan secara
padat karya melalui di tambak dengan peralatan sederhana. Petambak mengandalkan
penguapan air dan radiasi matahari. Sehingga produksi garam bergantung lamanya
kemarau, tingkat kelembaban dan curah hujan,” jelas Johanes, Sabtu (30/1/2021).
Cara produksi secara
tradisional ini dinilai kurang efektif, utamanya jika musim penghujan. Petani
garam sama sekali tidak bisa melakukan produksi.
“Petambak garam kita, terutama di
Pati masih menggunakan cara tradisonal. Yaitu memasukkan air tua di dalam
petakan. Selanjutnya menunggu waktu yang cukup untuk melakukan penggarukan
garam (kurang lebih 10 hari). Supaya kualitasnya baik,” imbuhnya.
Akan tetapi, kondisi tersebut
diakui Johanes tidak hanya dialami di Kabupaten Pati saja.
Menanggapi hal tersebut,
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Kabupaten Pati, Noto Subiyanto mengamini
bahwa kondisi curah hujan yang tinggi ini tak memungkinkan bagi petani garam
untuk berproduksi.
“Tentunya dengan kondisi curah
hujan yang cukup tinggi pada bulan-bulan seperti Desember hingga Februari
sangat tidak memungkinkan para petani garam untuk produksi,” ujar Anggota dewan
fraksi PDI Perjuangan, Senin (8/2/2021).
“Biasanya saat kemarau,
produktivitas garam tinggi. Siklus alamat seperti itu dan para petani garam
harus bisa memanfaatkan waktu yang sebaik mungkin,” pungkasnya. (Adv)
EmoticonEmoticon