![]() |
PERAJIN DUPA: Perajin dupa asal Desa Loram Kulon Sammy menunjukkan produk dupanya yang memiliki beberapa varian aroma di rumahnya. |
MENJELANG perayaan imlek 2020 yang jatuh pada Sabtu (25/1) mendatang, perajin dupa asal Desa Loram Kulon, Kecamatan Jati Kudus kebanjiran order. Bahkan jumlah permintaan meningkat hingga 70 persen.
Perajin dupa Desa Loram Kulon, Samuel Hidayat (28) mengatakan, penjualan dupa untuk sembahyang umat Tionghoa menjelang perayaan imlek tahun ini, mengalami peningkatan hingga 70 persen atau sebanyak 646 kilogram per pekan.
"Normalnya pesanan antara 30 sampai dengan 40 kilogram per hari karena hanya untuk kebutuhan personal. Kalau kebutuhan klenteng bisa sampai 100 kilogram per minggu,” terang Samuel, Selasa (21/1) sore lusa kemarin.
Menjelang perayaan imlek ini, lanjutnya, dalam sekali proses produksi pembuatan, sedikitnya mencapai 150 kilogram. Proses produksi paling lama apda proses pengeringan yang memakan waktu sampai dua hari. Itu pun kalau cuaca sedang cerah.
"Jadi, harus dijemur sampai benar-benar kering. Kalau tidak kering nanti tidak mau menyala saat dibakar,” jelas Samuel.
Pria yang akrab disapa Sammy ini, menjelaskan, mulai belajar membuat dua sejak Agustus 2019. Meski terbilang baru satu tahun merintis usaha tersebut, kedekatannya dengan umat Tionghoa dan pengelola klenteng di Kudus cukup baik. Dan itu berdampak pada penjualan ata pemasaran produk dupanya.
Dia menambahkan, produk dupanya sudah terjual hingga luar kota Kudus, seperti Semarang, Salatiga dan beberapa kota lainnya. Saking banyaknya order, Sammy pun mengaku beberapa order tidak terlayani karena pengirimannya cukup jauh.
"Misalnya order dari Batam ada pesanan sampai 400 kilogram setiap dua pekan. Krena biaya pengirimannya cukup besar, jadi tidak terlayani. Tidak kuat (menanggung biaya kirim) saya,’’ imbuhnya.
Saat ini, katanya, lebih fokus pada pesanan konsumen yang dekat dengan Kota Kudus. Meski demikian, jumlah pesanan dupanya masih cukup tinggi, dengan warna yang berbeda-beda. Misalnya Kota Semarang lebih banyak memesan dupa warna kuning, sedangkan Kota Salatiga warna hitam dan Kabupaten Kudus warna merah.
"Untuk harganya sama Rp 40 ribu per kilogram. Menjelang imlek ini pun harganya sama seperti biasa,” kata Sammy.
Terkait merek, Sammy menuturkan, dupa hasil produksinya dinamai SA Hio 168. Katanya, nama merek itu tidak sembarangan karena harus meminta petunjuk kepada dewanya sebelum menamai produknya. Gambar Dewa Laut yang tertempel disetiap bungkus dupa, juga sebelumnya meminta petunjuk ke kelenteng.
"Kelenteng di Kudus rata-rata dewanya Dewa Bumi. Tadinya mau pakai gambar Dewa Bumi di bungkusnya, tapi tidak boleh. Akhirnya diberi gambar Dewa Laut yang dibolehkan,’’ ujar dia.
Tidak cukup hanya itu, sebelum memulai proses meracik aroma dupa, pihaknya juga berdoa kepada dewa apakah sudah sesuai atau belum. Jika belum, Ia akan meracik ulang kembali aroma tersebut. ’’Kalau sudah sesuai, baru saya memakai aroma itu (hasil doa kepada dewa),’’ tandasnya.
Saat ini, pihaknya memiliki berbagai varian aroma dupa, salah satunya aroma kayu gaharu. Aroma tersebut merupakan yang paling mahal harganya yakni mencapai Rp 110 ribu per kilogram. Namun aroma tersebut tidak terlalu banyak diminati umat Tionghoa maupun kelenteng. Justru yang lebih banyak pembeli dari masyarakat umum.
Sedang bahan bakunya, lanjut Sammy, untuk kayu cendana dibanderol Rp 8 juta per karung, dan kayu gaharu seharga Rp 3 juta per karungnya. Untuk itu, dupa yang menggunakan bahan baku kayu cendana jelas paling mahal. Dia pun berencana akan membuat dupa yang menyala hingga 24 jam.
"Rata-rata yang dibuat saat ini bisa bertahan satu sampai 8 jam. Dupa yang tahan lama, akan membuat sembahyangnya juga lebih lama. Tapi nanti akan kami uji coba dulu ketahanan waktunya,’’ pungkasnya. (han/lis)
EmoticonEmoticon