Kepala Gereja Incini GITJ Banyutowo, Pendeta Sukodono mengatakan, pelaksanaa kegiatan Ambengan Agung tersebut untuk mendoakan keselamatan bangsa dan untuk memupuk kebersamaan antara jemaat.
Yang menarik dalam kegiatan itu, para jemaat gereja setempat maupun jemaat dari gereja utusan mereka kompak mengenakan pakaian adat masyarakat Jawa yakni baju lurik, mereka juga membawa ambengan berupa bingkisan nasi lengkap dengan lauk pauk-pauk yang jumlah lebih dari seribu ambengan.
“Ambengan Agung ini adalah prosesi untuk mendoakan keselamatan bangsa dan untuk mempererat hubungan antar jemaat gereja sekaligus juga untuk mempertegas kecintaan kami terhadap NKRI,” kata Pendeta Sukodono.
Lebih lanjut dia menjelaskan dengan kegiatan itu juga sebagai peringatan napak tilas untuk mengingat jasa para tokoh sesepuh yang telah membabat alas dan membangun Desa Banyutowo pada waktu tempo dulu.
“Dalam prosesi ini kami sengaja mengenakan baju lurik sebagai simbol kesederhanaan, sekaligus untuk menguri-uri dan melestarikan adat Jawa dan mengenang sejarah Babat Desa Banyutowo oleh para leluhur warga desa di sini,” ujar Sukodono.
Ambengan yang dibawa para jemaat itu kemudian diarak oleh rombongan kirab yang terdiri dari para pengurus gereja keluarga jemaat dan para tamu undangan.
Sebelum diarak prosesi Ambengan Agung ditandai dengan pembunyian lonceng yang ada dimenara sebelah gereja , kemudian dilanjutkan dengan pertunjukan tarian kolosal yang diperagakan oleh anak-anak dan remaja jemaat gereja Incini GITJ Banyutowo.
Dengan dipimpin oleh seorang pranata cara peserta kirab Ambengan Agung diberangkatkan untuk berjalan sepanjang setengah kilometer menuju Balai Desa Banyutowo dan gedug gereja lama yang berada di sebelah selatan Desa Banyutowo. Setelah sampai di balai desa peserta kirab berhenti sejenak untuk melakukan santap nasi ambengan bersama.
Yang unik dalam prosesi ini adalah bentuk ambengannya . Jika selama ini ambengan dibuat mengkrucut seperti nasi tumpeng, tetapi lain halnya dengan ambengan yang dibawa para peserta kirab Ambengan Agung bentuknya dibuat datar.
Ternyata perbedaan bentuk ambengan itu mempunyai arti sendiri. Ambengan yang dibuat dengan permukaan datar atau vertikal itu sebagai simbolis hubungan antar sesama manusia.
“Jika biasanya dalam prosesi upacara adat Jawa tumpeng bentukya mengerucut atau horisontal itu mengartikan hubungan manusia dengan penciptanya atau Tuhan. Tapi dalam kegiatan Ambengan Agung ini ambengan yang dibawa bentuknya datar karena kami ingin menekankan hubungan dengan sesama itu juga penting agar tercipta kedamaian dan keharmonisan di antara sesama manusia,” jelasnya.
Sebagai puncak acara, setelah meyantap ambengan bersama, jemaat kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke bangunan gereja lama untuk melakukan ibadah agung dengan melantukan macapat dan geguritan Jawa yang berisi firman Tuhan.
Kegiatan Ambengan Agung ini sedianya baru pertama kali dihelat, meski demikian prosesinya berjalalan dengan sukses . Karena itu pihak pengurus Gereja Incini GITJ Banyutwo berencana akan menjadiakn prosesi Ambengan Agung menjadi agenda rutin setiap tahunya.
“Terima kasih atas bantuan dan dukungan dari semua jemaat setempat maupun jemaat utusan dari Gereja GITJ yang ada sekitar Muria, sehingga kagiatan Ambengan Agung ini dapat berlangsung lancar dan suskses,” tutup Kepala Gereja Incini GITJ Banyutowo. (gus/lis)
2 comments
Write commentsMas Wartawan....makasih sdh dinuat...koreksi ya...
ReplyYg benar
1. Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ) Banyutowo.
2. Santap ambengan tidak di balai desa tetapi di gereja lama
Makasih, selamat berkarya
Baik, terima kasih atas koreksinya.. Akan kami perbaiki
ReplyEmoticonEmoticon